KITA BEGITU DEKAT | Abdul Hadi W.M. dalam Sejumlah Perjumpaan
Author: Esthi Susanti Hudiono, Gayatri W.M, Aan Rukmana, Ahmad Gaus AF, Ahmad Nurullah, Ahmadun Yosi Herfanda, Anie Din, Ariany Isnamurti, Asrizal Nur, Budhy Munawar-Rachman, Emi Suy, Fachrurozi Majid, Herdi Sahrasad, Imam Muhtarom, Isbedy Stiawan ZS, Jose Rizal Manua, Kholid Al Walid, Mahwi Air Tawar, Maman S. Mahayana, Muhammad Surbarkah 190, Musdah Mulia, Mustofa W. Hasyim, Nirwan Dewanto, Parid Ridwanunddin, Pipip A. Rifai Hasan, Riri Satria, Saifur Rohman, Shiny ane el’poesya, Sofyan RH. Zaid, Sukron Kamil, Sunaryo, Sutardji Calzoum Bachri, Swary Utami Dewi, Syaf Anton Wr, D. Zawawi Imron, M. Subhi-Ibrahim Publisher: Yayasan Wakaf Paramadina More DetailsBerdasarkan cerita kepada saya, Abdul Hadi W.M. diminta Cak Nur dan bersedia untuk mengajar di Universitas Paramadina pada akhir 1990-an. Namun permintaan tersebut, seperti aktivis diminta ceramah di pelatihan yang tidak jelas digaji berapa setiap bulan. Kebanyakan pengabdian Abdul Hadi W.M. tidak digaji karena Paramadina memang didirikan dengan modal nekat. Namun sebagai sesama aktivis, kerja sama—tidak pasti—seperti ini wajar saja, dan keduanya saling memahami. Sementara itu, untuk keperluan rumah tangga Abdul Hadi W.M., kita tidak tahu dari mana diperoleh.
Universitas Paramadina berdiri bukan saja tidak punya gedung, bahkan untuk menyewa pun tidak ada uang. Akibatnya beberapa pendiri, seperti Marsudi Kisworo, Pak Ben, Pak Ibnu, Pak Hendro dan kawan-kawan urunan untuk menyewa gedung. Namun pada masa sampai akhir hayat Abdul Hadi W.M., Universitas Paramadina sudah berbeda dengan tahun-tahun awal ketika berdiri yang tanpa modal itu.
Abdul Hadi W.M. sebelum wafat, masih terus mengajar meskipun sudah pensiun beberapa tahun. Universitas Paramadina memintanya untuk tidak berhenti mengajar. Seringkali mengajar secara daring meskipun tidak bisa menjalankan detail Zoom. Kuliah daring yang dilaksanakan secara tekun itu, tidak juga dilakukan dari rumah, tetapi Abdul Hadi W.M. memilih tetap datang ke kampus, sebab Wi-Fi di rumahnya dirasa kurang kuat sinyalnya.
Dengan jemputan mobil kampus Abdul Hadi pada usia yang sepuh dan sudah sakit masih sangat bersemangat mengajar. Saya bahkan lebih sering bertemu Guru Besar Paramadina ini ketimbang dosen muda lainnya dan sering pula ngobrol dalam bahasa Madura.
Abdul Hadi W.M. dalam pandangan saya adalah seorang intelektual terkemuka, pendidik, guru besar, sekaligus sastrawan-penyair dengan karya yang sering mendapat pujian dan penghargaan. Sebagai pengajar, ia dikenal sebagai profesor filsafat Islam dan sastra. Karya dan kontribusinya dalam bidang filsafat dan sastra menjadikannya salah satu tokoh penting dalam perkembangan pemikiran dan pendidikan di Indonesia.
Sudah lebih setengah abad yang lalu, tepatnya pada tahun 1969, Abdul Hadi memperoleh Hadiah Puisi Terbaik II Majalah Sastra Horison. Hadiah ini diperoleh untuk sajaknya yang berjudul “Madura” yang terbit tahun 1968. Kemudian pada tahun 1977, Abdul Hadi memperoleh Hadiah Buku Puisi Terbaik dari Dewan Kesenian Jakarta. Hadiah ini diberikan kepadanya untuk kumpulan sajak yang ditulisnya, yaitu Meditasi. Kumpulan sajak ini diterbitkan pada tahun 1976.
Secara terus menerus Abdul Hadi W.M. menerima penghargaan dari berbagai lembaga, seperti hadiah pada tahun 1979 dari Pemerintah atas prestasinya dalam penulisan sajak. Kemudian, pada tahun 1985, Abdul Hadi menerima Hadiah Sastra ASEAN dari Putra Mahkota Thailand. Hadiah ini merupakan penghargaan atas bukunya yang berjudul Tergantung pada Angin yang diterbitkan pada tahun 1983.
Pada tahun 2010 Abdul Hadi W.M. mendapatkan Penghargaan Satyalancana Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia yang diberikan langsung oleh SBY sebagai presiden saat itu. Anugerah itu diberikan karena Abdul Hadi W.M. (bersama tujuh tokoh lainnya) telah memberikan jasa yang besar di bidang kebudayaan, mampu melestarikan kebudayaan daerah atau nasional. Hasil karyanya dinilai berguna dan bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
Meskipun demikian, Abdul Hadi tetap menjadi pendidik yang sederhana dan cenderung sangat religius di akhir hayatnya. Abdul Hadi W.M. semakin banyak menciptakan puisi religius, terutama tentang Tuhan, sepi, kematian dan esensi waktu. Abdul Hadi kemudian lekat dengan puisi sufistik dan tasawuf. Mengapa? Karena dengan keindahan puisi dan religi itulah hidup lebih bermakna, yang berbeda jauh dari kehidupan hedonistik dan sekuler.
Ia banyak sekali menulis karya yang mencerminkan kedalaman pemikiran dan kreativitasnya dalam sastra. karya-karyanya hampir konsisten mengeksplorasi tema-tema filosofis dan spiritual. Itu semua merupakan suatu kontribusi yang signifikan dalam dunia sastra nasional.
Bagi kami di Universitas Paramadina, Abdul Hadi W.M. adalah suhu, profesor pengajar filsafat Islam di kampus kami. Gelar Guru Besar yang diraih merupakan salah satu pencapaian yang penting, sekaligus keterlibatannya sebagai pengajar di Universitas Paramadina yang didirikan oleh Nurcholish Madjid. Di Paramadina, keduanya—Nurcholish Madjid dan Abdul Hadi W.M.—berkolaborasi dalam mengembangkan dan memperkenalkan pendekatan baru dalam studi filsafat Islam.
Pendidikan dan pengalaman Abdul Hadi W.M. dalam filsafat Islam tidak hanya terbatas pada teori, tetapi juga pada praktik pengajaran dan penelitian. Ia mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk mendidik generasi baru para pemikir dan intelektual, serta berkontribusi dalam pengembangan pemikiran kritis di Indonesia. Banyak sekali murid-muridnya di Universitas Paramadina mengikuti jejaknya menjadi pengajar dan pendidik.
Dengan kombinasi pendidikan yang solid, pengalaman internasional, dan dedikasi terhadap pengajaran, Abdul Hadi W.M. tetap menjadi salah satu tokoh berpengaruh dalam bidang filsafat Islam dan sastra di Indonesia. Dengan nama besar Abdul Hadi W.M., Universitas Paramadina juga menjadi harum namanya dalam bidang keilmuan filsafat Islam.
Back
