Ketika Ibu Di Rumah…
Author: Alfikalia, Atika Budhi Utami, Dewi Kurniaty, Fatchiah E. Kertamuda, Gilang Cempaka, Kurniawaty Yusuf, Leonita K. Syarief, Rini Sudarmanti, Tia Rahmania ISBN: 978-979-772-071-1 More DetailsAstagfirullahalazim, seperti tersiram air es yang menggigit membuat jantung dan napas seperti terhenti sejenak mendengar penerbangan umroh menuju Jeddah Arab Saudi harus dibatalkan.
“Tutup, tidak bisa, semua tutup, tidak ada penerbangan umroh sampai jangka waktu yang tidak ditentukan.”
Semua tutup, semua lockdown, karantina diri sampai semua normal. Lupakan kegiatan penerbangan fisik, stay at home, sampai ada pemberitahuan protokoler resmi dari pemerintah.
Begitu riuh rendah dan panik menghadapi lockdown, karantina mendadak satu dunia.
Pulang dengan penuh rasa lunglai, kecemasan, dan tanda tanya.
“Sampai kapan ini akan terjadi? Kapan berakhir?” “Bagaimana saya, bagaimana keluarga saya?” “Bagaimana anak saya, bagaimana belajarnya?” “Bagaimana lainnya? Usaha saya, bisnis saya?” “Bagaimana saya survive?”
“Bagaimana …”
“Bagaimana …”
“Bagaimana …”
Semua pertanyaan “bagaimana”, berkecamuk di hati dan pikiran masing masing. Kebisingan itu menutup semua kesempatan dan rejeki, dan membuat putus asa hampir semua orang. Asa itu pun digiring ke pintu kehampaan, kekosongan, pupus harapan, dan ingin mati.
Kala itu Maret 2020, pandemi corona mulai menjadi momok yang menakutkan. Seperti pandemi influenza pada Januari 1918, dimana tidak ada vaksin yang menetralisasi virus yang sedang tidur dan kemudian bangun, dilanjutkan dengan tindakannya yang memporakporandakan dunia.
Spanish Flu yang telah membunuh 50 juta orang dan berlangsung selama perang dunia pertama. Korban pandemi yang jatuh melebihi jumlah korban perang.
Apakah berbeda dengan Corona di 2020? Tidak berbeda hanya berbeda latar belakang cerita dengan kerangka yang sama yakni ditengah perang. Perang -trade war- antara Tiongkok dan Amerika, perang bisnis digital, perang melawan teroris, perang melawan mafia human trafficking, mafia prostitusi, perang terhadap narkoba. Perang dengan diri kita sendiri, yang mulai miskin akhlak dan melahirkan mazhab-mazhab baru dengan tafsir kepercayaan sendiri, seolah-olah hidayah dari Sang Pencipta. Dan mengatakan kepada diri sendiri,
“Ah, aku ini baik dan suci dibandingkan orang lain.” “Ah, aku ini kaya tidak mungkin miskin.”
“Ah, masih ada hari esok.” “Ah, taubat bisa kapan-kapan.”
“Ah, dosa bisa dimaafkan kok, kalau ibadah serius pasti di maafkan Allah.”
“Ah, pergi umroh saja-pasti dosa bersih.”
“Ah, pergi ke pendeta saja untuk mengaku dosa, pasti dosaku lenyap.”
Kemudiah kita meneruskan kosa-kata “Ah” itu. “Ah…. Ah…. Ah …”
Semuanya “Ah” yang akhirnya jadi Ahstaganaga … Tiba-tiba, dunia senyap.
Tiba-tiba, Tuhan tidak ingin rumahnya dikunjungi. Tiba-tiba, dunia yang di atas jadi di bawah.
Tiba-tiba, dunia yang di bawah jadi di atas. Tiba-tiba, bangkrut mendadak.
Tiba-tiba, sakit mendadak. Tiba-tiba, mati mendadak
Tiba-tiba, harus berjuang dalam keadaan minimalis. Yang selamat hanya yang istiqomah.
Pandemi ini memberikan detoksifikasi kepada jiwa dan hati kita untuk berubah haluan dan menyadarkan kita terhadap Pencipta kita. Cobaan ini tidak mudah, yang memberikan pertanyaan kepada kita apakah kita akan selamat atau selesai tanpa ada penyesalan.
Ke-istiqomah-an atau keteguhan hati kita yang akan menyelamatkan kita. Iman kita diuji. Seberapa besar daya kita untuk mengahadapi cobaan dan seberapa besar kepasrahan kita.
Kita ditegur. Kita diingatkan, kalau kita ini bukanlah apa apa tanpa ijin-Nya. Lebih baik kita harus segera kembali, karena hanya kekuatan-Nya lah yang mampu membantu kita tetap bernapas dan menorehkan karya kita.
Kalau sudah begini apakah kesombongan diri kita masih diperlukan?
Kisah ini harus diceritakan, mengenai perjuangan istiqomah diri. Apakah kita akan tetap istiqomah sampai mencapai garis akhir?
Back
